KOPER

Oleh Yuli Duryat

Pepohonan masih tampak hitam ketika seorang laki-laki berjalan keluar gubuk. Siapa tahu di pasar ada pedagang yang membutuhkan jasa, bisik laki-laki bernama Karyo itu pada dirinya sendiri sambil berjalan tergesa menuju pasar. Ada satu kebiasaan yang ia lupa pagi itu. Kebiasaan yang sebelumnya telah mendarah daging. Entah mengapa, mungkin karena pikiran telah tertutup kebutuhan yang menumpuk, ketakutan akan perut yang lapar, membuat hatinya begitu keruh.

Di tengah jalan di depan gedung elit ia berhenti. Bergantian memandang gedung elit dan rumah kardus di hadapannya. Begitu kontrasnya kehidupan masyarakat di kota ini. Betapa, orang kaya tanpa dibebani pikiran tak enak hidup berdampingan dengan orang miskin. Tanpa sengaja ujung matanya menangkap sesuatu, namun ia mengabaikannya dan terus berjalan menuju pasar.

“Sudah aku bilang, kami tak perlu lagi pengangkut, kami sudah punya pekerja.” Jawab salah seorang pedagang buah ketika Karyo menawarkan jasanya.

“Aku bukan pegawai sosial, kalau aku sudah cukup dengan satu pekerja, aku tak mau terbebani dengan mengangkat pekerja baru.” Ucap laki-laki pemilik kios sayuran, kesal dengan kelakuan Karyo yang memaksakan diri untuk bekerja padanya, setelah ditolak pedagang buah.

“Saya mohon, Pak.”

“Jangan memohon padaku, pergilah ke tempat lain, aku sungguh tak memerlukan pekerja lagi.” Sergah penjual beras, lebih keras dari pemilik kios sayuran.

“Hai Karyo, kamu mau bekerja denganku. Tapi tentu aku tak mungkin membayarmu langsung. Setelah satu bulan bekerja barulah nanti aku kasih kamu upah, gimana?” Seorang pedagang yang ternyata teman sekampungnya berteriak. Mungkin karena kasihan melihat Karyo lantang-luntung dan selalu ditolak serta diusir oleh pedagang lain.

“Yang bener, Din?” Jawabnya sambil berlarian kecil menghampiri kios Udin yang sempit. Melihat keadaan kios, Karyo paham, usaha Udin tak sebesar pedagang lain. Walau bagaimana pun ia menghargai kebaikan Udin yang mau mempekerjakannya. Tetapi melihat keadaan Udin ia tak tega, setelah berbincang sebentar ia memutuskan untuk pergi mencari kerja di tempat lain.

Hari semakin siang, Karyo belum juga mendapat pekerjaan. Pria itu menyesal menjual rumah serta satu-satunya petak tanah peningalan leluhur di kampung untuk bekal ke kota metropolitan ini. Sebelumnya ia mengira, betapa kota Jakarta sangat menggiurkan dengan segala fasilitasnya. Namun hari-hari berlalu, ketika tak kunjung menemukan pekerjaan dan uang hasil jual rumah dan tanahnya semakin menipis, ia sadar bahwa pendapatnya selama ini salah besar.

Dalam kepenatan, Karyo mengingat sesuatu yang ia lihat di samping rumah elit, tersembunyi di balik bebungaan hias, tepat di samping kiri bangunan megah itu. Sekilas wajah lelah istri dan anaknya menari di pelupuk mata. “Jangan sekali-kali. Aku lebih baik kelaparan.” Pria berbadan jangkung itu mendesah. Ia menggeleng tegas. Sampai detik ini, ia belum juga sadar akan sesuatu yang ia lupa sejak beranjak dari gubuk sempitnya. Yaitu berdoa kepada Allah. Bahkan subuh tadi, Karyo lupa kebiasaan berjamaah dengan istri dan anaknya. Karena sengaja bangun lebih awal dan tergesa pergi tanpa pamit ketika anak istrinya masih tidur. Padahal biasanya, dia selalu shalat subuh berjamaah untuk membuka hari agar berkah Allah selalu melimpah kepada keluarganya.

Meskipun malamnya mereka melakukan shalat tahajud bersama, dan istrinya menangis entah oleh sebab apa. Tak biasanya istrinya menangis meskipun dalam keadaan kelaparan sekalipun. Istrinya Saidah adalah wanita tegar dan sosok istri yang saleah. Putrinya Zakia, yang berambut ikal dan bermata bulat bening adalah kekuatan baginya setiap kali mendapat cobaan dari Tuhan.

Pikiran Karyo berkecamuk, antara iya dan tidak. Antara jangan dan lakukan. Bisikan-bisikan dalam benak Karyo semakin mengencang dan berdenging di telinganya. Sambil mengibaskan tangan ia berlari kencang menuju tempat barang itu teronggok.

Dari kejauhan, gedung mewah yang terletak tak begitu jauh dari pasar tempatnya ditolak bekerja oleh banyak pedagang terlihat begitu megah. Karyo ingat, waktu ia berjalan diremang pagi tadi, barang merah jambu itu teronggok di rumpun bunga. Ia sama sekali tidak tahu mengapa ada orang begitu sembrono meletakkannya di tempat itu. Karyo melihat kiri kanan, depan belakang. Setelah yakin tak ada orang, ia mencari barang yang ternyata masih menggeletak di tempat yang sama seperti ketika ia pertama kali melihatnya. Ia berjalan dengan cepat dan mengambil barang itu kemudian berlari menyusur jalan menuju tempat gubuknya berdiri. Pria itu menarik nafas lega setelah sadar ternyata tak satu pun orang yang mencurigai apa yang baru saja ia lakukan.

Karyo menerka-nerka sendiri apa yang ada dalam koper tersebut. Mungkin baju bagus, dompet mahal, uang, atau mungkin perhiasan. Tapi apa yang harus aku katakan pada Saidah. Dia pastinya tak mungkin mau menerima barang yang bukan miliknya. Ah aku bisa saja berbohong, bahwa koper itu adalah hadiah dari seorang kaya untukku, karena aku telah membantunya bekerja. Ya tentu saja, gampang itu, nanti akan aku katakan padanya, pastilah ia tak akan curiga. Bukankah selama ini aku selalu jujur padanya. Bisik Karyo pada dirinya sendiri.

Gubuk tempat Karyo dan keluarganya tinggal semakin dekat. Namun ada setitik keraguan yang terbesit di benak Karyo. Tentang dosa, karena dia telah mengambil barang milik orang lain. Tentang dosa, kalau Saidah menerima koper itu dengan senang hati karena kebohongan suaminya, maka, dia telah menafkahi istri dan anaknya dengan barang haram.

Saat langkahnya kian dekat, Karyo melihat istri dan anaknya menunggu di depan pintu. Tersenyum bahagia menyambut kepulangannya.

“Assalamualaikum….”

“Waalaikumsalam…. Sudah pulang Mas ayo masuk.” Saidah menolong suaminya membawa koper itu masuk ke dalam gubuk. Dan langsung menuju meja kecil untuk mengambil minum.

“Apa itu, Yah.” Tanya Zakia senang.

“Oh, ini hadiah untuk kalian berdua.” Karyo menepuk koper tersebut.

“Dapat dari mana, Mas.” Saidah mendekat dengan segelas air putih untuk suaminya.

“Oh itu, tidak penting….” Karyo gelagapan, kebiasaannya jujur membuatnya sulit untuk berbohong pada istrinya.

“Kok bagus banget Mas kopernya?”

“Tentu saja, untuk istri siapa dulu ….”

“Wah baik banget Mas orang yang ngasih koper itu pada kita.”

“Eh …. Iya.” Karyo kembali salah tingkah.

“Mas, siapa dia Mas. Saidah ingin ketemu orang itu dan bilang terima kasih. Saidah boleh buka kan kopernya?”

“Oh, itu ada saudagar kaya yang memberikan itu sebagai hadiah untuk kita.”

“Saudagar kaya, siapa? Apa isinya?”

“Oh itu….” Karyo bertambah bingung. Ia tidak tahu sebelumnya, satu kebohongannya akan menarik kebohongan lain. Kebiasaannya jujur membuatnya menjadi panik. Istrinya yang sudah paham sifat suaminya menjadi curiga.

“Mas bohong. Mas katakan ini milik siapa. Kalau tidak jelas, Saidah tidak mau menerima, Mas. Mas sudah janji pada Saidah, sesusah apapun kita, Mas akan mencarikan rejeki yang halal dan jelas dari mana asal usulnya untuk Saidah dan Zakia. Oh ya Mas, mengapa, Mas pagi tadi pergi sebelum kita shalat berjamaah terlebih dulu?”

“Oh, itu, maaf Mas lupa.”

“Mas shalat subuh di mana? Sendirian, mengapa tak membangunkan Saidah dan Zakia?”

“E, mas lupa gak shalat subuh tadi pagi.” Karyo tambah merasa bersalah telah meninggalkan tanggungjawab dan kebiasaannya.

“Mas berubah. Saidah rela Mas kelaparan, asal kita jangan sampai lupa kepada-Nya. Dia yang telah meniupkan nafas hidup pada kita, Mas.”

“Sudah-sudah. Mas mau cari makan di warung. Mas sudah tahu, tak perlulah kau kasih ceramah.”

“Tapi, Mas, Mas berubah….”

Saidah menangis sedih memandangi suaminya yang keluar dari gubug dan menjauh pergi. Ia berkali-kali menyebut nama Allah untuk memintakan ampunan. Sementara Zakia ngelendot dalam pelukan ibunya. Dengan polos ia mengelap air mata ibunya. “Kata Ibu, Allah kan sayang kita, Bu. Mengapa ibu menangis.” Anak berusia empat tahun itu mencium pipi Saidah. Mereka berdua lalu entah mengapa bersamaan memandang ke arah koper merah jambu dengan menyebut nama Allah.

~*~

Gubuk di depannya porak poranda. Ledakan dan kebakaran menghanguskan seluruh gubuk tersebut. Laki-laki berkumis cambang itu melihat dengan mata kepala sendiri ketika istri dan anaknya diusung dengan bentuk yang telah menghitam. Meskipun Karyo ingin dua orang yang dicintainya itu tidak kelaparan lagi, tapi bukan ini yang ia mau.

“Jangan sekali-kali, aku lebih baik kelaparan.” Kembali wajah wanita terkasihnya melayang-layang dalam benak. Ya, istrinya tak mau Karyo mencarikan nafkah yang tak halal untuknya. Ia rela menerima apapun dari Karyo asalkan dihasilkan dari peluh Karyo, bukan seperti apa yang ia lakukan.

Mengambil barang atau mencuri milik orang lain adalah perbuatan dosa. Dan itu dilakukan Karyo serta menyerahkannya pada istrinya. Ia hanya keluar sebentar dari gubuknya ketika mendengar ledakan yang kemudian disusul api menyulut gubuk. Tak pernah terbayang sebelumnya, sebuah koper cantik berwarna merah jambu yang ia ambil di rumpun bunga pekarangan rumah elit itu berisi bom.

~*~

Majalah Iqro Edisi Juli 2012

2 thoughts on “KOPER

Leave a comment