MITONI

Cerpen Yuli Duryat

IMG_6874

 

Cerpen ini acc di Majalah Kartini tahun 2015, tapi tidak tahu tepatnya kapan dimuat, karena tidak ada pemberitahuan.

 

Kepalaku terasa berat, aku meraih gagang kursi di depan toko Mas Jaya dan segera duduk. Rasa pening dan sedikit berputar akan sembuh apabila aku menenangkan diriku sebentar. Perutku keroncongan belum terisi apa pun, sementara jarum panjang jam dinding yang dipasang toko mas terbesar di desa kami itu sudah menunjuk angka sebelas. Aku memejamkan mataku untuk beberapa saat, dengan tangan menumpuk di atas perutku yang buncit. Kandunganku sudah hampir menginjak angga 8 bulan, namun aku belum melakukan upacara selamatan tujuhbulanan yang sepantasnya. Aku mendesah sambil menyingkirkan sedikit beban yang berjubel dalam benak. Ada titik-titik air yang mengalir dari mataku yang lekas aku susut dengan punggung tangan, tak rela kesedihanku menjadi obyek pandang orang yang datang dan pergi jual beli perhiasan.

Waktu yang terus bergulir menarikku untuk segera bangkit dari duduk. Penjual belut akan segera kukud, kalau aku tidak segera membelinya maka semua rencanaku gagal dilakukan hari dan malam ini juga. Mitoni atau acara tujuhbulanan harus segera dilakukan sebelum bulan ketujuh masa kandunganku rampung. Sementara aku tidak mau menunda lagi, tapi aku sungguh harus bertarung dengan rasa lelah. Aku menghampiri Pak Kasro, tetangga yang bekerja sebagai tukang becak yang mengantarkanku belanja. Dia memarkir becak dengan separo tempat duduk penuh belanjaan di eperan toko. Aku tersenyum melihat wajah letihnya, aku tidak boleh membebaninya dengan menampakkan kelelahanku.

“Pak Kasro, tidak apa-apa kan kalau menunggu saya lagi, ada yang belum saya beli.” Pak Kasro menjawab dengan anggukan dan acungan jempol.

Jalan setapak yang aku susuri begitu sempit. Gerabah dan buah-buahan terserak begitu saja di tepi jalan di atas tenda berwarna putih kadang biru. Aku memilih masuk ke dalam melewati stand pakaian menuju stand buah. Berkelok ke samping menuju tempat penjualan ikan, tanah begitu becek di situ, perlahan aku melangkah sambil menyibak rok panjangku agar tidak terciprat lumpur. Sebelum memasuki tempat penjual ikan, di atas tenda lebar tergeletak gunungan-gunungan bermacam cabe, bawang merah, tomat dan beberapa jenis sayuran. Ketika aku melihat untaian selada air, aku ingat aku baru membeli tiga macam sayur berwarna hijau yang akan dijadikan kulupan, aku harus membeli empat macam lagi agar ganjil tujuh. Aku juga belum membeli lepek, ah itu terlalu berat, tapi aku tetap harus membelinya. Baiklah, aku akan kembali lagi setelah membawa sayur dan belut ke tempat Pak Kasro menunggu. Ayam untuk ingkung, bunga tujuh rupa, kendi, ah kenapa begitu banyak yang belum terbeli.

Mata-mata pedagang dan pengunjung yang melihatku keluar masuk pasar menatap curiga, kasihan dan entah, aku tidak bisa membaca ekpresi mereka satu-satu. Toh aku memang harus melakukan ini, aku tidak bisa menyuruh ibuku yang sakit-sakitan dan tidak bisa berjalan jauh karena kakinya yang telah diamputasi. Sementara suamiku, oh, dia sibuk bekerja di kantor kecamatan, aku tidak mau mengganggunya dari pekerjaan melayani rakyat.

Aku merasakan itu, langkahku yang tak lagi cepat seperti sebelum aku hamil. Meski begitu, aku tidak pernah merasa mengandung anak pertama dalam keadaan yang dirundung susah. Aku bersyukur, Tuhan memberikan kekuatan untuk bisa melakukan semua ini sendirian. Sementara dua anak suamiku sedang sekolah, aku tidak memperbolehkan mereka mengambil cuti sekolah untuk menemaniku belanja, walaupun mereka merengek untuk ikut. Ah, dua anak yang selalu membuatku berfikir ulang ketika aku memutuskan untuk menyerah. Dua anak yang selalu memberiku kekuatan dan kebahagiaan meskipun kecemburuan kadang menyelip bersamanya. Satu berumur enam tahun dan satu berumur sembilan tahun. Anak laki-laki dan perempuan yang menggemaskan. Seringkali, disaat-saat kami sedang bersantai, mereka berebut memegang perut dan mendengarkan calon adiknya yang bergerak-gerak dalam rahimku. Kesenangan baru yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, sementara ayah mereka lebih memilih menghindar dan berakrab ria dengan teman kantor atau teman sekolahnya dulu hingga larut malam.

Becak Pak Kasro bergoyang-goyang, jalan berlubang membuatnya terengah-engah mengayuh. Sekali dua aku menawarkan diri untuk turun, tapi dia melarangnya. Jalan menuju rumah ibu dari pasar sangat panjang rasanya ditempuh dengan becak, melewati bulak-bulak persawahan yang menghijau oleh padi-padi penduduk. Mendung yang menggelayut langit dan angin yang berhembus sedikit meringankan beban Pak Kasro, setidaknya dia tidak terlalu kepanasan tersengat terik mentari di jam satu siang itu. Aku yang duduk berebut dengan sayur mayur dan semua belanjaan bahan mitoni tersebut terangsek-rangsek ke kanan dan ke kiri.

Ibu terkejut melihat aku datang. Aku yang sejak menikah ikut suami menghuni rumah dinas di belakang kecamatan, tiba-tiba datang dengan segunung belanjaan. Untungnya aku sudah mengantisipasi apa yang akan terjadi sehingga aku telah siap dengan segala reaksi ibu. “Kemana suamimu?” tanyanya dengan tatapan menuduh. Bibirku yang mengembang senyum tak mampu mengelabui ketajaman naluri seorang ibu. “Kalian bertengkar lagi? Apa juga ibu bilang, kenapa kau tidak menyerah saja.” Lagi-lagi kata-kata yang sama seperti setiap kali aku dengan muka sembab mendatangi tempat ibu. “Mereka masih tetap berhubungan, apa mau suamimu itu sebenarnya?” Palu yang terlalu sering menggetok kepalaku, sehingga membuat batoknya semakin mati rasa.

Air mata ibu menitik, aku tahu itu, namun ibu menyembunyikan dengan berpaling dariku, kursi rodanya berderit keras akibat terlalu cepat digeser ke samping olehnya. Ibu melajukan kursinya menuju ruang keluarga, ia segera meraih gagang telpon dan menghubungi saudara perempuannya untuk membantu memasak. Aku tahu yang akan terjadi selanjutnya, seluruh keluarga besar ibu akan mendengar, bahwa aku akan melaksanakan upacara mitoni di rumah ibu dan bumbu-bumbu tentang belanjaan yang aku beli sendiri. Dan tentu saja suamiku yang tak datang. Pesakitan yang menyedihkan, berita yang cukup menyakitkan untuk mengundang seluruh keluarga bebondong mengucapkan bela sungkawa. Sampai sekarang, aku masih saja bertanya, mengapa mereka sangat menyukai berita duka yang terdengar dari keluarga sendiri? Berita kecil pun akan menjadi besar karenanya.

Sementara ibu masih sibuk menelpon, aku membantu Pak Kasro menurunkan seluruh belanjaan. Ini kehamilan yang sangat berat, bertambah berat ketika aku tidak mengerjakan sesuatu. Kalau aku menggerakkan tubuhku, rasa mual dan pusing yang seringkali datang akan berkurang. Tapi hari ini, aku merasa kepala dan perutku terasa sangat berat dari biasanya. Atau mungkin karena perutku belum terisi apa pun semenjak pagi. “Kau sudah makan?” tiba-tiba ibu bertanya, seperti membaca pikiranku. “Belum,” jawabku sangat lirih. “Makan dulu, semua itu biarkan saja, nanti bulik kamu yang urus, dan kalau ada yang kurang nanti biar orang lain yang beli. Setelah makan, mandi dan tidurlah.” “Aku ingin semuanya selesai hari ini juga, Bu.” Lanjutku.  “Jangan khawatir, ini selamatan kecil, tidak akan memakan waktu lama untuk mempersiapkannya. Toh kita bukan orang luaran sana yang mencintai berlebihan.” Aku mengangguk.

Bisik-bisik keluargaku di luar terlalu jelas terdengar ketika aku memejamkan mataku dalam kamar ibu. “Suaminya belum datang. Kita harus segera bangunkan dia untuk acara pemandian.” “Dia benar-benar luar biasa, belanjaannya kumplit tak kurang satu apa, semua ganjil tujuh macam.” “Anak-anaknya juga belum datang.” “Anak siapa? Ya anak tirinyalah, suaminya kan duda beranak dua, kau lupa.” Sahut menyahut satu sama lain, membentur-bentur kepalaku sehingga membuatnya bertambah berat. Aku curiga, jangan-jangan aku tidak punya tenaga untuk bangun lagi dan menjalani ritual pemandian. “Mengapa gadis secantik dia mau dipersunting duda?” “Dia dijodohkan kau lupa? Keluarga kita memang suka bermantukan priyayi, orang-orang yang bekerja di pemerintahan.” “Kau mengada-ada siapa bilang begitu?” “Mbah Kakung dan Mbah Uti kan selalu bilang.” “Apa yang kalian bicarakan? Kerja itu tak perlu pakai mulut kan.” Kata-kata ibu yang terakhir membungkam semua kasak-kusuk. Ibu sulung dari sembilan bersaudara, sejak diabetes ibu semakin parah dan harus kehilangan dua kakinya, saudara-saudara ibu selalu menurut dengan ibu. Lebih tepatnya menjaga perasaan ibu, agar ibu tidak bersedih.

Berkali-kali aku menggigit bibirku agar tidak tampak pucat. Aku menahan segala rasa sakit di kepala dan perutku yang semakin memuncak, untuk tetap duduk tegak. Tangnku gemetar, tubuhku menggigil menahan dingin yang sudah menyergap saat aku masih terbaring di kamar, aku menahannya sekuat tenaga. Kulitku yang kuning hanya terbungkus kain jarik sampai di dada tampak pias. Aku berusaha keras, agar tidak ada keluarga yang menyadari apa yang sedang terjadi padaku. Bidan di dekat kecamatan memang menyuruhku untuk banyak istirahat saat aku menjalani pemeriksaan tiga hari yang lalu. Aku sudah setengah sadar saat ibu mulai mengguyurku dengan air tujuh sumur dan bunga tujuh rupa. Puncaknya adalah saat dukun bayi hendak menyiramkan kendi kecil berisi tujuh belut ke tubuhku, aku tidak bisa menahannya lagi. Dari lipatan pahaku muali mengalir caitan merah yang belum mereka tahu ketika tubuhku oleng menubruk dukun bayi yang berdiri di sampingku. Kendi yang dia pegang jatuh dan pecah, menghamburkan belut-belut yang bersemayam di sana. Pekik dan jeritan terdengar, sebelum aku tidak merasakan apa pun.

Aku terbangun lima hari kemudian, mendapati peruku yang rata. Udara buruk memenuhi ruangan serba putih itu, tak ada seorang pun kecuali aku yang terbaring dengan jarum infus menusuk di pergelangan tangan. Edaran pandang mataku mencari seseorang, di mana suami atau anak-anakku? Mereka tidak ada di sampingku, mungkin sedang pergi sekolah dan suamiku sedang di kantor. Tapi, hari apa ini, apakah ini bukan hari libur? Suara detik jam dinding menambah suasana hatiku semakin sesak. Naluriku mengatakan, ada yang tidak beres dengan janinku. Aku mengusap perutku, aku mendapati sesuatu di sana. Sepertinya kain yang membalutnya, aku berusaha duduk tapi kepalakau masih terasa berat, aku kembali membaringkan tubuh.

Pintu kamar itu terbuka, ibu menyembul dengan kursi rodanya, diikuti seorang berjas putih. Aku melihat sekilas laki-laki berambut sebahu itu, kemudian memejamkan mataku, lalu membukanya kembali. Ibuku senang melihatku membuka mata, dia mempercepat gerak kursi rodanya, mendekatiku. “Bagaimana perasaanmu?” Ibu meletakkan punggung tangannya di keningku. “Apa yang terjadi?” Aku menjawab pertanyaan ibu dengan pertanyaan sembari menekankan kata terjadi dengan harapan segera mendapat jawaban. “Yang penting kamu sehat dulu?” “Jadi bayiku tidak penting menurut ibu?” Air mataku bergulir. Ibuku diam, menggigit bibir. Aku tahu ibu sedang menahan tangis. “Biar saya yang jelaskan padanya, Bu.” Dokter itu mengambil alih peran ibu untuk menjelaskan apa yang terjadi padaku. Ibu mengangguk dan memalingkan mukanya dariku, berputar dan segera keluar kamar. Pada saat ibu keluar kamar, dua anak kecil berebut masuk diikuti seorang laki-laki di belakangnya. Dokter itu mengurungkan niatnya bicara, menyingkir dari kamar.

“Ibuuu, waktu itu ayah tidak mau diajak ke acara tingkeban. Ayah pergi lagi sama Ibu Nur.” Gadis kecil berumur sembilan tahun itu memukul-mukul ayahnya. “Tadi malam, dede lihat ayah berduaan di kamar sama Ibu Nur.” Adik laki-laki gadis kecil itu menyahut. Laki-laki yang adalah suamiku itu menutup mulut anak laki-lakinya dan mecubit pergelangan tangan anak gadisnya. Aku tersenyum melihat dua anak itu bergantian, dan berpaling dari pandangan suamiku. “Kalian, bisa keluar sebentar, ibu mau bicara dengan ayah.” Dua anak itu berebut mencium kening dan tanganku sebelum keluar kamar. “Mas bisa lanjutkan hubungan dengan Bu Nur, bagaimanapun dia ibunya anak-anak. Mas lepaskan aku, aku tidak kuat lagi memikulnya.” “Bagaimana bisa kau bilang begitu Ras, kau tidak bisa punya anak lagi, dariku kau dapatkan dua anak yang lucu-lucu dan menyayangimu.” “Sebaiknya Mas keluar saja.” “Kau akan menyesal melakukan ini.” Dari tempatku berbaring setelah suamiku keluar kamar, aku mendengar dua anak itu menjerit-jerit tidak mau diajak pergi ayahnya. Aku mengusap mataku yang mulai basah. Dokter yang tadi keluar kembali masuk kamar.

“Jadi aku tidak bisa punya anak lagi, apa yang terjadi?” Lama aku menunggu jawaban dari dokter tersebut. “Brengsek kamu, apa yang terjadi?!” Aku tidak kuat untuk menunggu lama. Aku menekan suaraku sangat keras dengan segala daya yang aku miliki. Bahkan aku tak peduli akan sopan-santun. “Kami terpaksa mengangkat rahim, Ibu. Saat kami mengoperasi janin ibu keluar, di sana terdapat kanker ganas. Janin ibu tak bisa tertolong. Ibu beruntung karena langsung terdeteksi, kalau tidak nyawa ibu bisa menjadi taruhannya. Sangat berbahaya, jadi kami memutuskan untuk mengangkat rahim Ibu dengan persetujuan orang tua, Ibu.” Langit seakan runtuh setelah mendengar apa yang dikatakan dokter. Rasanya tak ada gunanya aku hidup, mengapa aku tidak mati saja bersama bayiku. Dokter itu tetap di kamar sampai aku berhenti menangis. Aku tak peduli dan tidak merasa malu sama sekali untuk meluapkan kesedihanku di hadapannya. Sepertinya aku merasa aku dan dia terhubung entah oleh apa. Meskipun kami baru saja bertemu.

~*~

 

Thursday, 7:47 APM, Oktober 09 2014

Ka Fai House-Hong Kong

Surat Pertemuan

Cerpen Yuli Duryat

Gambarku 051

 

Burung pelikan berebut menyantap ikan di tepian danau dekat vila orang tuaku. Airnya tampak tenang kehijauan. Setiap weekend, aku pilih tempat ini untuk menenangkan diri. Apartemenku yang terletak jauh di tengah kota terlalu bising oleh kesibukan penduduk. Bulan-bulan ini aku memang rutin absen dari pertemuan dan makan bersama keluarga besar dari ibu, juga ayah. Sayangnya hari ini tidak ada kegiatan yang menarik sehingga aku punya alasan untuk menghindar. Lebih tepatnya menghindar dari berbagai pertanyaan yang menjurus ke masalah yang sama, entah spontan dilontarkan atau tidak sengaja karena memang sudah terbiasa. Agaknya mereka telah lupa, bahwa orang bersio kerbau mempunyai ingatan yang tajam. Atau mungkin umur 45 tahun belum cukup membuat mereka pensiun bertanya, kapan aku menikah.

Aku sedang duduk di depan jendela ketika tiba-tiba hapeku berdering. Memandang ke arah bulan yang pucat di ufuk langit. Langkah aku seret ke arah meja di mana hapeku tergeletak. Seharusnya dia tidak berdering saat jarum jam baru menunjuk pukul tujuh. Terlebih, biasanya pada hari Minggu begini aku menutup semua koneksi dari luar, Sunday is me time. Tak akan aku biarkan orang luar mengganggu ketenanganku. Pekerjaan di toko kosmetik sudah membuatku penat setiap harinya, jadi Minggu adalah saatnya aku mundur dari keramaian. Membiarkan wajahku merasakan kealamiannya tanpa riasan.

Dengan malas aku mengangkat telpon, satu nomer yang tidak aku kenal berkedip-kedip. Aku mengerutkan keningku. Jangan-jangan hanya orang iseng atau petugas operator yang menawarkan produk baru. Ingin segera mengakhiri dering telpon tersebut akhirnya aku mengangkatnya. “Halo, siapa ini?” kata-kataku aku tekan. Bukannya menjawab, tapi suara di seberang justru memberiku perintah, “bisa bertemu dengan saya siang ini, di kafe dekat gedung Clp Power Shatin Centre?” “Siapa ini?” “Kita ketemu saja dulu, nanti saya jelaskan siapa saya.” “Tapi…” telpon ditutup dari seberang.

Mataku tertumbuk dengan dua buah tiket di atas meja, pertunjukan teater. Oh, bukankah tempat pertunjukannya tak jauh dari tempat yang disebut penelpon misterius barusan. Aku menelengkan muka, mengangkat bahu tak peduli. Sebenarnya aku memang malas untuk datang menyaksikan kisah yang sudah dihelat berulang-ulang, Romeo and Julietnya William Shakespeare. Kalau bukan karena Tessa yang bersikeras untuk membelikan tiket sebab pemeran utamanya adalah sahabat kuliahnya. “Please, kau tahu sendiri aku tidak suka pertunjukan seperti ini, tapi aku tahu kalau Milly adalah pelaku yang bisa diandalkan. Percayalah, kau akan sesenggukan melihatnya berakting menangis. Aku bahkan pernah sampai tidak mengenalinya saat dia ada di panggung.” Rengek Tessa dua minggu lalu. Aku tak pernah tega melihatnya menampakkan muka semelas Bebe, anjing kesayanganku ketika lapar. Kepalaku mengangguk dengan sendirinya.

Baiklah, aku berdamai dengan diriku. Toh nanti sore aku juga harus keluar bersama Tessa, jadi aku memutuskan untuk menemui penelpon misterius. Tak ada salahnya mengenal orang baru, atau kalaupun si penelpon orang jahat, aku tahu kafe yang ia tunjuk bukan tempat yang tepat untuk melakukan tindak kejahatan. Aku meraih cardigan panjang yang tergelantung di balik pintu kamar. Tetap mengenakan pakaian yang telah menempel di tubuhku sejak semalam. Celana pendek dan kemeja tanpa lengan yang sudah lungsut. Meraih tas kecil dan mengenakan sendal jepit sambil menyisir rambut dengan tanganku yang bebas. Aku memutuskan untuk naik angkutan umum, hari Minggu gairah menyetirku sering anjlok, aku tidak mau kalau itu sampai terjadi di tengah perjalanan.

Naik angkutan umum di negara yang padat ini sering membuatku penat. Di saat-saat seperti ini, aku menginginkan seseorang berdiri di sebelahku, sehingga aku bisa bebas menggelayutkan badan. Aku sadar aku membutuhkan sandaran meskipun aku benci disebut cengeng. Tetapi itulah perempuan dengan segala keperkasaannya, ada sisi naluriah sebagaimana mestinya perempuan diciptakan.

Mungkin, aku termasuk perempuan yang membenci kemesraan di depan umum, tapi aku sering tidak menolak bila diperlakukan demikian asal masih dalam taraf wajar. Ah, berbicara mengenai ini, aku jadi teringat kekasih duapuluh lima tahunku. Ya, kaulah laki-laki yang berkencan denganku sejak kita berusia duapuluh tahun. Hingga kejenuhan memisahkan kita. Aku tidak mau mungkir dari kenyataan bahwa kita telah berbagi segalanya, dan perpisahan ini juga atas persetujuan kita berdua. Rasanya kita telah melalui hubungan yang hidup segan mati tak mau, karena itulah kita memutuskan untuk berpisah. Walau kadang-kadang rasa sakit, sepi dan kehilangan itu menyembul-nyembul dari batinku, tapi egoku mengatakan bahwa aku harus melewati ini lebih baik darimu.

Duapuluh menit perjalanan kereta dari Tai Po Market tempat vila orang tuaku berdiri, menuju Shek Mun. Aku segera menuju kafe yang dimaksud penelpon misterius. Sebuah kafe yang terletak di dekat kota industri. Oh Godness, kenapa dadaku berdetak lebih kencang dari biasanya. Sudah bertahun-tahun aku tidak merasakan ini. Aku menyesal tidak mengganti pakaianku sebelum keluar rumah tadi. Ketika aku berjalan menyusuri eperan gedung-gedung dan berpapasan dengan kacanya yang besar, tanpa sadar aku membenahi pakaian dan rambut panjangku yang tak tersisir. Tinggal satu gedung lagi, dadaku kian kencang berdetak.

Aku berdiri di depan kafe mencari si penelpon misterius. Ketika aku menyeret satu kursi untuk duduk, kau tiba-tiba datang dari luar kafe dan langsung menghampiriku. Kau bekas kekasihku tersenyum lebar di depanku, sudah satu tahun kita tidak bertemu. Hatiku menolak keras mengapa kau berada di tempat ini, aku tidak merasa nyaman melakukan pertemuan dengan laki-laki lain di depanmu.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku.

“Apa kabarmu?” tanyamu bersamaan dengan pertanyaanku.

“Kenapa kau di sini?”

“Untuk menemui seseorang, temanku tidak bisa menemuinya karena urusan mendadak.”

“Siapa?” Aku masih hapal nada bicaramu ketika berbohong, tapi aku pura-pura tidak peduli.

“Entahlah, aku juga tidak tahu siapa? Kau mau makan apa, biar aku pesankan.”

“Apa kau belum menikah?” Aku tidak percaya kalimat yang meluncur begitu saja dari mulutku, aku sungguh menyesal dan mendadak benci pada bibirku sendiri. Kau tidak menjawabku, hanya menelengkan muka, dengan matamu kau mengulang pertanyaanmu barusan.

“Kau lupa?”

“Siapa tahu kau berganti selera.” Kau berlalu meninggalkanku untuk memesan satu porsi roti bakar selai blueberry dan dua gelas kopi hitam, tentu saja kalau kau juga belum berubah selera.

“Kau masih suka main teater?” tanyaku saat kau kembali dengan membawa nampan pesanan. Sama, ternyata kau belum berubah selera, hanya saja, ada dua susu dalam kemasan kecil tergeletak di atas nampan.

“Yup, kau mau lihat pertunjukanku nanti malam bersama Milly? Aku agak jenuh minum kopi pahit belakangan ini, kau mau?” aku menggeleng tak menjawab. Kau menuang susu ke dalam cangkir kopi. Ada yang panas dalam dadaku saat aku mendengar kata Milly. Minum kopi dibubuhi susu, bukankah itu kebiasaan Milly. Milly adalah sahabat Tessa seperti yang aku ceritakan di atas, dia memiliki paras yang sangat cantik. Bulu mata lentik dan mata bulatnya sering membuatku iri padanya. Aku tahu Milly menyukaimu sejak lama.

“Kalian berkencan?”

“No,” jawabmu santai. Ada satu kelegaan saat aku mendengar jawaban itu. “Bay the way, apa yang kau lakukan di sini?” tanyamu.

“Menemui seseorang.”

Kau manggut-manggut, aku kecewa saat kau tidak tertarik bertanya siapa yang akan aku temui.

“Apakah orang ini yang akan kau temui?” kau mengulurkan secarik kertas. Oh, bukankah itu kertas yang aku selipkan di belakang kursi tempatku duduk dalam seminar satu bulan yang lalu, dalam gedung yang sama dimana pertunjukan teater nanti malam dihelat, Heung Yee Kuk Building. Aku membubuhkan nama, dua gabungan kata dan nomer telponku di sana, lalu siapakah yang menelponku, aku yakin suara itu bukan suaramu. Aku bingung dan malu untuk menatap wajahmu. Surat aneh seperti itulah yang mempertemukan kita duapuluh lima tahun yang lalu.

“Temanku yang menemukan suratmu saat kami latihan tadi pagi, dan aku mengambilnya. Aku menyuruh adik perempuanku untuk bicara ditelpon, dia pandai berakting sebagai laki-laki.” Lanjutmu tanpa memedulikan mukaku yang memerah. Sammy: Somebody Somewhere, beserta nomer telponku yang aku tulis di atas secarik kertas kecil yang aku selipkan di belakang kursi itu melayang-layang dalam pikirku, membuatku ingin menariknya kembali.

“Jangan mencari orang lain, aku masih mencintai dan demi Tuhan aku merindukanmu sepanjang kita berpisah. Sudah lama aku memikirkan cara yang sama, aku tidak mengira kau melakukannya.”

 

Saturday, October 25, 2014

9:21 AM Fanling NT Hong Kong