Berbagi Kebahagiaan

Oleh Yuli Duryat

Kalau saja malam itu, tepat 2 jam sebelum deadline saya tidak lari pulang dari rumah nenek, mungkin benar kata hati saya, saya akan menyesal. Menyesal tidak menyempatkan waktu menulis sebanyak sepuluh lembar. Dan saya senang, akhirnya saya merasa tidak sia-sia harus mengejar mini bus dan kereta cepat untuk pulang ke apartemen dan mulai menulis.

Tapatnya Minggu tanggal 23 kemarin saya merasa deg-degan, bahagia sekaligus tak percaya mendapat kehormatan menjadi juara pertama lomba menulis scenario iklan dan nominasi pertama lomba menulis scenario film pendek yang diadakah Bank Mandiri dan sutradara terkenal kita Mas Aditya Gumay dan Mas Adenin Adlan. Pertama kalinya menulis sebuah skenario iklan dan menyabet juara pertama sungguh senang rasanya. Saya mengucapkan banyak terima kasih atas ilmu yang diberikan selama works shop di Hong Kong, betapa beliau berdua begitu sabar membimbing kami yang sangat minim pengetahuan tentang skenario, bahkan malah banyak yang belum mengenal tehnik menulis skenario sebelumnya.

Sebelum mengikuti lomba, sebenarnya saya berniat untuk tidak ikut karena mentok ide. Namun entah kenapa, bisiskan bahwa saya akan menyesal kalau tidak berpartisipasi sangat mengganggu saya. Akhirnya, tepat dua jam sebelum deadline saya bertekat untuk ikut dan mulai menulis skenario film pendek. Akibat mentok ide saya mengadaptasi cerpen saya yang berjudul ‘Sepucuk Surat dari Emak’ dan akhirnya jadilah skenario. Naskah tersebut tersisih dari kursi juara akibat keteledoran saya yang tidak menghapus judul lama yang menempel di badan naskah, namun masih tetap menjadi nominasi pertama dan saya sangat bersyukur.

Kemenangan ini akan saya jadikan cambuk untuk belajar lebih baik lagi. Sayangnya meskipun ingin sekali mempublikasikan skenario tersebut tapi tak bisa karena skenario menjadi hak milik panitia.

Alhamduliah, puji syukur kehadirat Allah, atas segala nikmat yang ia limpahkan kepadaku.

Grave of the Fireflies

Oleh Yuli Duryat

Ketika dalam obrolan telpon di waktu senggang, seorang teman bilang, bahwa rasa kasihannya telah hilang pada negara Jepang atas dampak tsunami pada 13 Maret 2011 yang dahsyat melanda negara adidaya ini, setelah dia menonton film dokumenter tentang tragedy Nanking. Saya jadi teringat perkataan seorang teman berkebangsaan Filipina, ketika saya berbincang denganya; “As human being, people from the whole country is same, there some one good and some of they bad.” Ya, pendapat saya pun sama.

Mungkin agak jauh lompatannya, sekedar mengingat kembali bagi Anda yang sudah menonton berpuluh tahun yang lalu karena di sini saya ingin mengulas tentang Grave of the Fireflies. Film animasi Jepang ini diproduksi pada tahun 1988. Seperti tertera dalam English Wikipedia dan saya terjemahkan di sini, film tragedi anti-perang ini ditulis dan disutradarai oleh Isao Takahata. Adalah film pertama yang diproduksi oleh Shinchosha, yang memanfaatkan Studio Ghibli sebagai tempat merampungkan produksi film animasi ini. Film ini diadaptasi dari novel semi-otobiografi dengan tajuk yang sama oleh Akiyuki Nosaka. Novel ditulis sebagai permintaan maaf Akiyuki Nosaka kepada adik penulis sendiri yang meninggal akibat kekurangan gizi selama Perang Dunia Kedua. April tanggal 16, yaitu dua puluh tahun lebih dari publikasi novel pada tahun 1967, film luar biasa ini dirilis. Dibintangi Tsutomu Tatsumi, Ayano Shiraishi, Yoshiko Shinohara dan Akemi Yamaguchi.

Film Grave of the Fireflies mendapat review positif dan dianggap klasik oleh banyak kritikus. Kritikus film Roger Ebert menganggapnya sebagai salah satu film perang terbesar dan paling kuat yang pernah dibuat, and in 2000, included it on his “Great Movies” list.

Sementara saya sendiri baru menonton film ini beberapa bulan yang lalu di sebuah perpustakaan besar khusus film online. Saya sangat terkesan dengan ceritanya, bahkan saking cengengnya saya menangis sepanjang menonton film ini. Ternyata benar kata Bapak Makoto Itoh dari Jepang yang juga pernah tinggal dan mengajar di salah satu Universitas di Indonesia pada diskusi sastra 8 April yang lalu, bahwa kebanyakan orang Jepang suka sekali membuat karya tulis maupun film yang menguras air mata.

Film yang kemudian dirilis kembali secara life pada tahun 2005 dan dibintangi oleh Inoue Mao, Matsushima Nanako, Ihara Tsuyoshi, Ishida Hoshi, dan Sasaki Mao, ini ber-setting bulan-bulan terakhir Perang Dunia II di Jepang. Grave of the Fireflies mengisahkan hubungan kakak beradik piatu yaitu; Seita laki-laki berumur 14 tahun dan adik perempuannya yang berumur 4 tahun bernama Setsuko.

Dibuka di Sannomiya Station pada tanggal 21 September 1945, menggambarkan Seita yang berpakaian compang-camping sedang sekarat karena kelaparan. Seorang petugas kebersihan datang mencari harta miliknya dengan menggeledah pakaiannya, dan menemukan kaleng permen yang berisi abu dan tulang. Dia melemparkannya keluar, dan dari situ muncul roh Setsuko dan Seita, berbentuk kunang-kunang yang bergerombol menyerupai awan. Roh Seita kemudian menceritakan kisah mereka, sebuah kilas balik menjelang akhir Perang Dunia II, selama pemboman kota Kobe.

Adegan demi adegan dalam film ini begitu memukau, menarik perhatian saya sehingga enggan untuk beranjak sebelum credit title terpampang di layar monitor.

Kilas balik dimulai dengan armada pembom Amerika B-29 Superfortress terbang di atas kota Kobe. Setsuko dan Seita, dua saudara yang tinggal untuk mengamankan rumah dan barang-barang mereka, sehingga ibu mereka yang menderita lemah jantung bisa pergi lebih dulu ke tempat perlindungan bom. Mereka terkepung oleh ribuan rudal, berjatuhan dan menimbulkan kebakaran besar yang dengan cepat menghancurkan lingkungan mereka dan sebagian besar kota. Meskipun mereka bertahan hidup tanpa cedera, ibu mereka terkena serangan udara dan terbakar secara mengerikan. Dia dibawa ke klinik darurat di sebuah sekolah, namun meninggal tak lama kemudian.

Tidak memiliki tempat lain untuk berteduh, Setsuko dan Seita tinggal dengan bibi jauh mereka. Mereka menerima Setsuko dan Setia tinggal dan menyuruh Seita untuk menjual kimono ibunya untuk membeli beras. Meskipun tinggal dengan kerabat mereka, Seita pergi keluar untuk mengambil sisa persediaan yang ia pendam di tanah sebelum pengeboman. Dia memberikan semua itu kepada bibinya, namun menyembunyikan kaleng permen buah, yang menjadi benang merah sepanjang film. Bibi mereka terus melindungi mereka, tetapi ia mengurangi jatah makanan mereka akibat perang yang tak kunjung usai.

Seita dan Setsuko akhirnya memutuskan untuk pindah ke suatu tempat di pinggir danau kecil untuk berlindung. Mereka menangkap kunang-kunang di tepi danau dan melepasnya di dalam gubug tempat mereka berlindung sebagai cahaya. Keesokan harinya Setsuko menemukan mereka semua mati. Dia menggali kuburan untuk kunang-kunang itu dan menguburnya, menanyakan mengapa mereka harus mati, dan mengapa ibunya harus mati. Kehidupan mereka semakin suram karena mereka kehabisan beras, dan Seita terpaksa mencuri dari petani lokal untuk bertahan hidup. Ketika tertangkap, ia putus asa, ditambah lagi adiknya sakit. Ia membawa Setsuko ke dokter dan dokter memberitahu kepadanya bahwa Setsuko menderita gizi buruk tetapi tidak menawarkan bantuan.

Dalam kepanikan, Seita menarik semua uang yang tersisa di rekening bank ibu mereka. Saat ia meninggalkan bank, dia bingung ketika mendengar kerumunan orang yang membicarakan Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu dan bahwa ayahnya, seorang kapten di Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang telah berjanji kepadanya bahwa Jepang tidak pernah bisa dikalahkan, mungkin sudah mati. Dia kembali ke tempat penampungan dengan membawa banyak makanan, namun terlambat, Setsuko sedang sekarat menghadapi maut karena kelaparan. Seita bergegas untuk memasak, namun Setsuko tak tertolong lagi. Seita menggunakan pasokan yang disumbangkan oleh petani  sekitar untuk mengkremasi Setsuko, dan menempatkan abunya di kaleng permen. Ia memegang erat kaleng dan selembar foto ayahnya, hingga ia mati kekurangan gizi di Sannomiya Station beberapa minggu kemudian.

Dalam adegan akhir film, roh Seita dan Setsuko terlihat sehat, berpakaian rapi dan bahagia. Mereka duduk bersama, dikelilingi oleh kunang-kunang, melihat kota modern Kobe dari atas awan.

Menyimak film ini, saya tidak membenci Jepang atas kelakuannya dulu, terutama tragedy Nanking yang banyak dibicarakan. Meskipun saya pun tidak setuju dengan kekejaman Jepang. Oleh sebab manusia patilah ada salah dan khilaf, masa lalu biarlah berlalu dan kita sepatutnya untuk menghadapi masa depan kita agar menjadi lebih baik.

Dari film ini, banyak sekali hikmah yang bisa dipetik, diantaranya adalah saya jadi lebih menghargai makanan. Karena di belahan bumi lain, ada banyak orang dan anak-anak yang kekurangan gizi. Maka dari itu, jangan sampai kita membuang-buang makanan ketika kita makan. Ambillah secukupnya saja meskipun kita makan pada saat kita sangat lapar.

Film ini begitu menyayat hati dan sangat berkesan bagi saya.

Sumber from English Wikipedia.